ADA 3 SIKAP DAN PANDANGAN ALIRAN/KELOMPOK DALAM ISLAM KETIKA ADA WABAH PENYAKIT
Ada 3 Sikap dan Pandangan Kelompok Aliran Teologi Dalam Islam Ketika Menyikapi Wabah Bala Penyakit:
Kelompok Pertama: Paham Jabariyyah:
Menyerahkan Sepenuhnya Pada Takdir Allah, Namun Tanpa Ada Usaha dan Ikhtiar.
Paham kelompok ini berkeyakinan bahwa semua wabah penyakit itu semata berasal dari Allah Swt. Namun, mereka tidak mau peduli dengan usaha syariat untuk menghindarinya.
Mereka berpandangan sekiranya mereka terkena wabah penyakit tersebut merupakan takdir dari Allah. Kalau pun nanti meninggal dunia itu pun juga sudah takdir dari Allah. Sekiranya mereka selamat -tidak terkena apa-apa itu pun juga sudah takdir dari Allah SWT.
Mereka tak peduli masker, tak peduli alat pencegahan kesehatan, dan tak peduli orang lain, mereka hanya peduli keyakinan mereka semata. Himbauan medis tidak ada dalam kamus mereka, kecuali jika memang sudah parah kondisinya, itu pun jika sudah terpaksa.
Contoh slogannya, misalnya: "Kami hanya takut kepada Allah, tidak takut Corona! Corona itu juga makhluk Allah!" (tanpa mengindahkan arahan dan himbauan dunia medis).
Kelompok ini hanya peduli pada keyakinan mereka sendiri, tanpa memperdulikan efek serta dampak yang bisa saja ditimbulkan dari kelompok mereka sendiri dari penyebaran virus itu pada orang sekitarnya.
Intinya, kelompok paham Jabariyyah ini hanya peduli pada pemberi "Asbab", bukan pada "Musabbab". Yakin hanya pada Allah, tapi tidak yakin pada Sunatullah-Nya.
Kelompok kedua: Paham Qadariyyah: Sepenuhnya Yakin Pada Kekuatan Diri Sendiri, Tanpa Melibatkan Kekuatan Allah Swt Sama Sekali.
Cara berpikir kelompok ini seringkali mengandalkan kemampuan diri sendiri atau orang lain yang dianggapnya kuat atau kemampuan seorang pemimpin atau para pengelola negara yang mereka yakini kemampuannya.
Mereka hanya berkeyakinan penuh pada kecanggihan peralatan medis serta kemajuan ilmu pengetahuan. Namun, menafikan Allah Swt dalam setiap peristiwa dan kejadian.
Kelompok paham ini seringkali lebih mengandalkan logika dan rasio, ketimbang keyakinan hati dan iman. Semua hanya dinilai berdasarkan secara faktor materialistik dan realistik saja.
Biasa mereka berslogan, umpamanya: "Kami tidak takut Corona. Ayo kita lawan Corona!" atau "Peralatan medis kita sudah canggih! Corona tak akan masuk ke Indonesia!" atau kesimpulan spekualitif, "Corona itu senjata biologis buatan satu negara tertentulah," dsb.
Kadang paham kelompok Qadariyyah juga menafikan antara hubungan faktor musibah dengan kemunkaran manusia itu sendiri.
Semisal slogannya, "Tidak ada hubungan antara wabah penyakit dengan kemaksiatan manusia." atau "Tidak ada hubungan antara Corona dengan mengkonsumsi kelalawar atau binatang yang diharamkan dalam Islam."
Intinya, paham Qadariyyah ini hanya melihat dan meyakini faktor "Musabbab", namun mengabaikan Sang Pemberi "Asbab".
Mereka ingin membebaskan akal logika mereka dari faktor keimanan (believe). Dan mereka hanya sepenuhnya mengandalkan pada akal yang rasional, akan tetapi faktor keimanan serta faktor ketuhanan mereka abaikan dan tanggalkan.
Ketiga: Ahlu Sunnah wal Jama'ah: Menyeimbangkan Antara Ikhtiar dan Tawakkal.
Kelompok Ahlu Sunnah wal Jama'ah memiliki sikap dan pandangan mu'tadil dan mutawasith; seimbang dan berimbang. Mereka tidak terlalu takut berlebihan dan tidak pula menantang penuh kesombongan. Menyeimbangkan antara ikhtiar dan tawakkal.
Mereka selalu berusaha bertawakkal mendekatkan diri pada Allah Swt dengan doa dan wiridan, namun pada saat yang sama juga mereka selalu berikhtiar dengan obat-obatan yang membuat fit badan. Mereka senantiasa menjaga kebersihan fisik dan juga kebersihan bathin.
Mereka berdoa dan memakai masker bila diperlukan. Kelompok ini mengikuti aturan medis juga mematuhi dan tunduk pada aturan agama dan ilmu pengetahuan. Keseimbangan antara nalar dan iman, kesetaraan antara hati dan logika akal diaktifkan.
Jika disarankan agar mereka menghindari penyebab serta antisipasinya, misalnya menjauhi kerumunan massa, mereka akan lakukan, tapi mereka juga tak lupa berlindung dengan Allah dari segala kemudharatan.
Kelompok ini berkeyakinan bahwa Allah yang menjadi "Musabbab", tapi juga Dia yang menciptakan "Asbab". Dia yang menurunkan bala wabah penyakit, namun Dia pula yang memberikan cara menghindari dan penyembuhan wabah penyakit tersebut.
Kita bisa belajar dari sikap dan tindakan Khalifah Rasulullah Shallahu alaihi wassalam, Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu anhu.
Manakala Khalifah Umar bin Khattab dan pasukannya membatalkan rencana mereka memasuki kota Syam yang ketika itu sedang terserang wabah penyakit sewaktu mereka masih berada di kota Sargh.
Salah seorang sahabat bernama Abu Ubaidah al-Jarrah menemui Umar bin Khattab dan seakan ingin mendebatnya.
أنفر من قدر الله، يا أمير المؤمنين؟
"Akankah kita akan menghindar dari takdir Allah, wahai Amirul mukminin?!"
Seakan Abu Ubaidah al-Jarrah ingin mengatakan, "Mengapa engkau berubah menjadi pengecut, wahai Umar, hanya karena takut mati menghadapi wabah virus penyakit yang kecil, sedangkan peperangan musuh yang jelas akan membunuh di hadapan kita saja berani kita hadapi?!"
Lantas apa jawaban Umar bin Khattab?
نعم، نفر من قدر الله إلى قدر الله!
"Benar! Kita menghindari dari satu takdir Allah kepada takdir-Nya yang lain!"
Tak berapa lama, datanglah sahabat lainnya, Abdurrahman bin Auf yang menyampaikan hadits Rasulullah yang pernah didengarnya saat ia masih bersama Rasulullah semasa hidupnya.
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إذا سمعتم به - أي الطاعون- بأرض فلا تقدموا عليه وإذا وقع وأنتم بها فلا تخرجوا فرارا منه. [رواه البخاري]
Rasulullah Saw bersabda: "Jika kalian mendengar adanya satu wabah penyakit di satu negeri, maka janganlah kalian memasukinya dan jika kalian berada di negeri itu, maka janganlah pula kalian meninggalkannya karena menghindarinya." [HR. Bukhari]
Jadi, di sini kita perlu mendudukkan persoalan antara keberanian, keyakinan serta egoisme diri dengan sikap tawadhu', khauf dan raja' berserah diri tunduk pada hukum Sunatullah Allah dan rasul-Nya yang sudah ditentukan. Inilah akidah yang benar dalam pandangan Ahlu Sunnah wal Jama'ah.
Dalam hal soal tawakkal juga kita mesti belajar pula dari kisah salah seorang sahabat Nabi Saw yang meninggalkan tali kekang untanya terlepas begitu saja, tanpa diikatkan di sebuah batu saat ia memasuki masjid Nabawi untuk beribadah.
Lantas Rasulullah Saw menegurnya, "Kenapa tidak kau ikat untamu itu?!"
Di menjawab: "Aku serahkan untaku pada Allah, ya Rasulullah! Jika Allah menghendaki-Nya dia tetap ada bersamaku. Tapi jika Allah Swt menghendakinya hilang, maka dia hilang dariku!"
Rasulullah tersenyum.
"Bukan begitu caranya!"
Nabi Saw lantas mengajarkan ikhtiar dengan cara memintanya mengikat untanya, lantas
Nabi Saw bersabda:
"Sekarang barulah engkau bertawakkal dan serahkan semuanya pada Allah!"
Beginilah ajaran Rasulullah dalam bertawakkal yang sesuai sunnah dan ajaran Islam.
Jika pun semua ikhtiar dan tawakkal sudah sepenuhnya dilaksanakan secara maksimal, hasilnya tidak sesuai yang diharapkan, barulah kita bicara soal takdir. Bukan takdir tanpa ikhtiar tanpa tawakkal, bukan?!!
Wallahu 'alam.
Ust. DR. Miftah el-Banjary, MA
Komentar
Posting Komentar