Adab Hutang Piutang




Islam mengatur adab hutang-piutang yang membawa pelakunya ke surga dan menghindarkan dari api neraka.  Adapun adab-adabnya adalah...

1. Hutang piutang harus ditulis dan dipersaksikan.

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.

Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya.

Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur.

Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (diantaramu).

Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.

Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya.

Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya.

Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah.

Allah mengajarmu dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.

(QS. Al-Baqarah: 282).

2. Pemberi hutang atau pinjaman tidak boleh mengambil keuntungan atau manfaat dari orang yang berhutang.

Kaidah fikih berbunyi:

“Setiap hutang yang membawa keuntungan, maka hukumnya riba”.

Hal ini terjadi jika salah satunya mensyaratkan atau menjanjikan penambahan.

Dengan kata lain, bahwa pinjaman yang berbunga atau mendatangkan manfaat apapun adalah haram berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’ para ulama.

Keharaman itu meliputi segala macam bunga atau manfaat yang dijadikan syarat oleh orang yang memberikan pinjaman kepada si peminjam.

Karena tujuan dari pemberi pinjaman adalah mengasihi si peminjam dan menolongnya. Tujuannya bukan mencari kompensasi,  pelayanan atau keuntungan

Dengan dasar itu, berarti pinjaman berbunga yang diterapkan oleh bank-bank maupun rentenir di masa sekarang ini jelas-jelas merupakan riba yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

3. Melunasi hutang dengan cara yang baik.

Termasuk cara yang baik dalam melunasi hutang adalah melunasinya tepat pada waktu pelunasan yang telah ditentukan dan disepakati oleh kedua belah pihak (pemberi dan penerima hutang).

4. Berhutang dengan niat baik dan akan melunasinya.

Jika seseorang berhutang dengan tujuan buruk, maka dia telah berbuat zhalim dan dosa. Diantara tujuan buruk tersebut seperti:

a). Berhutang untuk menutupi hutang yang tidak terbayar

b). Berhutang untuk sekedar bersenang-senang

c). Berhutang dengan niat meminta. Karena biasanya jika meminta tidak diberi, maka digunakan istilah hutang agar mau memberi.

d). Berhutang dengan niat tidak akan melunasinya.

5. Berupaya untuk berhutang dari orang sholih yang memiliki profesi dan penghasilan yang halal.

Sehingga dengan meminjam harta atau uang dari orang sholih dapat menenangkan jiwa dan menjauhkannnya dari hal-hal yang kotor dan haram.

Sehingga harta pinjaman tersebut ketika kita gunakan untuk suatu hajat menjadi berkah dan mendatangkan ridho Allah.

Sedangkan orang yang jahat atau buruk tidak dapat menjamin penghasilannya bersih dan bebas dari hal-hal yang haram.

6. Tidak berhutang kecuali dalam keadaan darurat atau mendesak.

Maksudnya kondisi yang tidak mungkin lagi baginya mencari jalan selain berhutang sementara keadaan sangat mendesak, jika tidak akan kelaparan atau sakit yang mengantarkannya kepada kematian, atau semisalnya.

Tidak sepantasnya berhutang untuk membeli rumah baru, kendaraan terbaru, Handphone terbaru, PS 4 atau sejenisnya dengan maksud berbangga-banggaan atau menjaga kegengsian dalam gaya hidup.

Padahal dia sudah punya harta atau penghasilan yang mencukupi kebutuhan pokoknya.

7. Tidak boleh melakukan jual beli yang disertai dengan hutang atau peminjaman.

Mayoritas ulama menganggap perbuatan itu tidak boleh. Tidak boleh memberikan syarat dalam pinjaman agar pihak yang berhutang menjual sesuatu miliknya, membeli, menyewakan atau menyewa dari orang yang, menghutanginya. Dasarnya adalah sabda Nabi

“Tidak dihalalkan melakukan peminjaman plus jual beli.”(HR. Abu Daud)

8. Menggunakan uang pinjaman dengan sebaik mungkin.

Menyadari, bahwa pinjaman merupakan amanah yang harus dia kembalikan. Rasulullah bersabda:

“Tangan bertanggung jawab atas semua yang diambilnya, hingga dia menunaikannya”. (HR. Abu Dawud)

9. Bersegera melunasi hutang.

Orang yang berhutang hendaknya ia berusaha melunasi hutangnya sesegera mungkin tatkala ia telah memiliki kemampuan untuk mengembalikan hutangnya itu.

Sebab orang yang menunda-menunda pelunasan hutang padahal ia telah mampu, maka ia tergolong orang yang berbuat zhalim.

10. Memberikan penangguhan waktu kepada orang yang sedang kesulitan dalam melunasi hutangnya setelah jatuh tempo.

“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui.” 

(QS. Al-Baqarah: 280).

Semoga kajia ini membawa manfaat untuk kita semua. In Sya Allah... Aamiin...






Komentar

Sering Dibaca

BUKU ANAK INI ADALAH BUKU SYI'AH

TIGA KATA SULIT DAN TERLARANG DIUCAPKAN